Terdapat dua kutub ekstrim terkait hubungan antara alkohol dan pemerkosaan. Kutub pertama menyatakan ada hubungannya sementara kutub kedua sebaliknya. Dasar yang pertama adalah fakta bahwa sebagian besar kasus pemerkosaan dilakukan oleh pelaku yang mabuk. Dasar bagi yang kedua adalah kontra faktual dari yang pertama. Tidak semua pemerkosaan dilakukan pelaku yang mabuk. Di negara yang tingkat konsumsi alkohol tinggi tidak serta merta tinggi pula tingkat pemerkosaannya. Di negara yang alkohol dilarang, toh tetap terjadi pemerkosaan.
Dalam sebab-akibat, telah lama disadari bahwa kriteria penyebab cukup, penyebab niscaya, dan penyebab cukup-niscaya sudah tidak memadai untuk sebagian besar masalah, terutama masalah sosial. Penyebab dikatakan cukup jika akibat pasti terjadi bila penyebab ada; dikatakan niscaya jika akibat pasti tidak terjadi bila penyebab tidak ada. Pendekatan keduanya untuk membicarakan sebab-akibat tentu hanya akan jatuh pada debat kusir. Ironisnya, argumentasi inilah yang digunakan oleh kedua kutub di atas. Argumen yang sama-sama lemah. Perdebatan menjadi sia-sia.
Salah satu teori sebab-akibat yang cukup memadai adalah teori komponen cukup dari Rothman. Inti teori ini, (i) akibat mempunyai banyak mekanisme; (2) akibat dari suatu mekanisme akan terjadi jika komponen yang diperlukan untuk terjadinya mekanisme tersebut telah lengkap; (3) penyebab yang selalu terlibat dalam setiap mekanisme disebut penyebab niscaya; (4) suatu akibat akan bisa dicegah jika penyebab niscaya bisa diatasi; (5) suatu akibat dari suatu mekanisme dapat dicegah dengan mengatasi salah satu komponen dari mekanisme tersebut.
Terkait pemerkosaan, terdapat banyak mekanisme yang dapat menjelaskannya, beberapa di antaranya, melibatkan komponen alkohol. Jadi, alkohol terlibat dalam beberapa mekanisme namun tidak terlibat dalam mekanisme lainnya. Dengan demikian, alkohol bukan komponen niscaya. Karena alkohol bukan komponen niscaya, kita tidak dapat mencegah pemerkosaan dengan melarang alkohol karena terdapat mekanisme yang tidak melibatkan alkohol. Berita baiknya, kita dapat mencegah pemerkosaan dengan melarang alkohol melalui jalur mekanisme yang melibatkan alkohol.
Penjelasan ini memperbaiki argumen kutub pertama sekaligus mengatasi argumen yang disampaikan kutub kedua.
Selanjutnya, selain pendekatan probabilistik, pendekatan lain dalam menjelaskan sebab-akibat adalah pendekatan mekanistik atau patofisiologi. Ilmuwan telah menemukan dan menjelaskan bagaimana pengaruh alkohol pada kerja otak. Dia mempengaruhi kinerja neurotransmitter di otak, menghambat kinerja fisiologis otak, dan akhirnya berakibat pada abnormalitas kerja otak. Tindakan irasional adalah konsekuensinya. Pemerkosaan adalah salah satu tindakan irasional yang dapat dilakukan oleh orang yang ada dalam pengaruh alkohol.
Bagi umat islam, selain argumen probabilistik dan mekanistik di atas, argumen lain terkait alkohol adalah ‘alkohol haram’. Seandainya tidak ada bukti-bukti probabilistik, alkohol tetap haram. Seandainya tidak ada bukti-bukti mekanistik, alkohol tetap haram. Faktanya, bukti probabilistik dan mekanistik itu ada.
Sangat tidak rasional, ketika perkembangan ilmu tidak sejalan dengan perkembangan kebijakan publik. Sangat tidak rasional, ketika perkataan ulama tidak didengarkan oleh umaro (pemimpin). Namun, di sinilah ironinya. Dalam dunia yang sejatinya diharapkan rasional, kita mendapati pertunjukkan yang tidak rasional.
Note:
Teori Komponen Cukup dari Rothman dapat dibaca pada link berikut.
Kajian tentang Sebab-Akibat juga dapat dibaca pada Buku Sopiyudin seri 14 “Seni Melacak Sebab-Akibat”.