Saat saya menulis artikel ini (13 Mei 2019), saya berkali-kali dimintai pendapat oleh beberapa Sahabat tentang angka kematian petugas KPPS. Untuk merespons permintaan tersebut, saya tulis artikel ini. Artikel saya bagi menjadi beberapa bagian, yaitu systematic error, kelompok pembanding, waktu pengamatan, dan ekspektasi. Artikel diakhiri dengan relevansinya dengan masalah angka kematian petugas KPPS.
Sebelumnya, marilah kita sampaikan doa kepada almarhum dan almarhumah yang gugur dalam melaksanakan tugas mulia ini. Tulisan ini semoga adalah bentuk penghargaan atas pengorbanan mereka. Ada hikmah dan pelajaran yang selalu dapat kita ambil dari setiap peristiwa.
Systematic error
Dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam penelitian, manusia sering melakukan suatu jenis kesalahan. Kesalahan tersebut dapat terjadi karena ketidaktahuan atau kesengajaan. Kesalahan tersebut juga dapat disadari maupun tidak disadari. Kesalahan ini berakibat pada hasil yang tidak benar. Kesalahan ini disebut kesalahan sistematis (systematic error). Dahsyatnya, jumlah kesalahan jenis ini jumlahnya mencapai ratusan (kompilasi berbagai kesalahan ini telah saya tulis dalam buku “Errorisme”).
Kelompok pembanding
Dari sekian banyak systematic error, salah satu penyebab yang cukup sering adalah kesalahan dalam mengambil pembanding. Dalam sehari-hari, kita sebut “tidak apple to apple”. Contoh yang sangat popular adalah bias healthy worker effects. Begini ceritanya. Pada suatu ketika, seorang peneliti membuktikan bahwa angka kematian di sebuah pabrik lebih rendah dibandingkan dengan angka kematian di populasi pada umumnya. Hasil penelitian ini tentu menggembirakan bagi perusahaan tersebut. Dia dapat mengklaim bahwa bekerja di perusaan tersebut aman, sehat, dan sejahtera.
Ini hasil pengamatan yang dijadikan sebagai acuan.
Pada pekerja pabrik, mortality rate-nya 50/1000 = 0,05.
Pada populasi, mortality rate-nya 0,07.
Common sense tentunya menerima hal ini. Sangat masuk akal! Terbukti secara statistik, angka kematian pekerja di pabrik tersebut lebih rendah dibandingkan angka kematian di populasi! Hebat bukan? Ayo, marilah bekerja di pabrik! Begitulah kira-kira klaim yang mungkin disampaikan pabrik tersebut.
Namun, sesuatu yang masuk akal belum tentu benar. Metodologi lalu mengoreksi temuan tersebut. Begini cara mengoreksinya. Data populasi dibagi dua, yaitu populasi para pekerja dan populasi yang tidak bekerja. Kemudian, angka kematian pada pekerja di perusahaan tersebut dibandingkan dengan dua populasi ini.
Penasaran dengan hasilnya?
Pada pekerja pabrik, mortality rate-nya 50/1000 = 0,05.
Pada keseluruhan populasi, mortality rate-nya 0,07.
Pada populasi pekerja, mortality rate-nya 0,05.
Pada populasi bukan pekerja, mortality rate-nya 0,25.
Menurut common sense lagi, mana yang apple to apple untuk dibandingkan?
Pekerja pabrik v.s. populasi? 0,05 v.s. 0,07
Pekerja pabrik v.s. populasi bukan pekerja? 0,05 v.s. 0,25
Pekerja pabrik v.s. populasi pekerja? 0,05 v.s. 0,05
Tentu Anda sudah dapat memilih perbandingan mana yang apple to apple.
Tentunya, kesimpulan yang ada di benak Anda berbeda dengan kesimpulan sebelum hasil penelitian dikoreksi.
Waktu pengamatan
Penyebab kesalahan sistematis lainnya yang sering terjadi adalah “waktu pengamatan” yang kurang. Saya sebut saja namanya cross sectional bias. Dahulu, ada peneliti yang ingin mengetahui pasien dengan penyakit apa yang paling sering dirawat di suatu rumah sakit. Ia lalu melakukan pengamatan secara cross sectional. Ia melaporkan bahwa penyakit A adalah penyakit yang paling sering dirawat di rumah sakit tersebut. Common sense tentu menerima hasil tersebut. Terbukti secara statistik bahwa penyakit A adalah penyakit yang paling sering dilakukan perawatan!
Namun, metodologi segera mengoreksi kesalahan tersebut. Tentu saja penyakit A adalah penyakit yang paling sering dilakukan perawatan karena penyakit tersebut memang memerlukan perawatan yang lama. Kemungkinan pasien penderita penyakit tersebut untuk Anda amati secara cross sectional tentu lebih besar dibandingkan penyakit lainnya yang masa perawatannya sebentar.
Lalu, apa yang sebaiknya dilakukan? Pilihlah desain penelitian yang valid. Jangan cross sectional!
Bias Ekspektasi
Penyebab berikutnya dari kesalahan sistematis adalah “expectation bias” atau bias ekspektasi. Ilustasinya sebagai berikut. Seorang peneliti memperoleh kesembuhan pada Obat A adalah 60% dan kesembuhan pada Obat B adalah 70%. Perbedaan kesembuhan antara dua obat dengan demikian 10%. Peneliti tersebut kemudian menyimpulkan bahwa Obat B terbukti secara statistik lebih baik dari Obat A. kesimpulan ini sesuai dengan hipotesisnya bahwa Obat B lebih baik daripada Obat A.
Apakah kesimpulan ini benar?
Pendapat seseorang sering kali dipengaruhi oleh hipotesisnya. Karena mempunyai hipotesis bahwa Obat B lebih baik dari Obat A, seseorang akan cenderung menyimpulkan sesuai dengan hipotesisnya berapapun angka yang diperoleh. Andai perbedaannya 5% pun, seseorang masih dapat menyimpulkan Obat B lebih baik dari Obat A.
Benar tidaknya kesimpulan tersebut, bergantung pada ekspektasi peneliti yang harus sudah ditetapkan sebelum penelitian dilakukan. Sebelum penelitian, peneliti harus menetapkan berapa perbedaan kesembuhan minimal yang dianggap bermakna untuk menyatakan Obat B lebih baik dari pada Obat A. Dengan demikian, interpretasi tidak semena-mena. Jadi, jika ekspektasi peneliti adalah 15%, maka obat B tidak lebih baik dari Obat A.
Kaitannya dengan Angka Kematian Petugas KPPS
Terkait dengan angka kematian petugas KPPS, berhubung saya mempunyai keterbatasan akses data, saya hanya dapat menyampaikan beberapa poin yang dapat didiskusikan lebih lanjut.
- Dari kasus “healthy worker effect”, pelajaran yang dapat diambil adalah kita harus pilih pembanding yang sahih. Saya tidak menyarankan angka kematian pada petugas KPPS dibandingkan dengan angka kematian pada populasi. Apapun hasilnya, pemilihan pembandingnya tidak apple to apple. Apa kelompok pembanding yang apple to apple? Kelompok yang kerjanya mirip dengan KPPS, misalnya: petugas KPPS pemilu sebelumnya, petugas Pilkada, dan lainnya.
- Dari kasus cross sectional bias, pelajaran yang dapat diambil adalah kita harus melakukan pengamatan lebih lama. Jangan hanya mengamati angka kematian petugas KPPS pada Bulan April saja. Amatilah kematian yang terjadi pada petugas KPPS mulai dari saat penunjukkan sebagai anggota KPPS sampai dengan masa berakhirnya tugas tersebut. Saya mendapat informasi bahwa masa tugas KPPS adalah enam bulan sebelum pemilu sampai dua bulan setelah pemilu. Bandingkanlah angka kematian pada masing-masing bulan (berarti mulai Desember 2018, Januari 2019, Februari 2019, Maret 2019, April 2019, Mei 2019). Lihat trend-nya.
- Dari kasus bias ekspektasi, pelajaran yang dapat diambil adalah kita harus mempunyai ekspektasi sebelum melaksanakan suatu program. Bertanyalah kepada KPU berapa prediksi risiko terjadinya kematian pada petugas KPPS. Kemudian, bandingkanlah kenyataan (observed) dengan ekspektasi tersebut.
Penutup
Saat saya menulis artikel ini (13 Mei 2019), saya berkali-kali dimintai pendapat oleh beberapa Sahabat tentang “perbandingan angka kematian petugas KPPS dengan crude death rate Indonesia” yang sedang ramai di media social (medsos). Saya juga sesungguhnya tertarik untuk mengomentarinya. Namun, tidak di medsos. Bagi saya, diskusi di medsos itu bukan habitat saya. Diskusinya terlalu liar.
Bagi Sahabat yang mempunyai data dan pendapat, mohon lengkapi beberapa hal yang telah saya sampaikan di atas.
Bagi Sahabat yang ingin berkomentar, komentar dapat disampaikan di kolom komentar yang ada di blog ini.
Wassalaamualaikum
M. Sopiyudin Dahlan
Dokter & Epidemiolog