BAHAYA VAKSIN: MITOS ATAU FAKTA ?

Ditulis Oleh : Tim Redaksi MSD

Syaikh Sudais, Imam Masjidil haram disuntik vaksin COVID-19 merk pfizer. 
Foto: Twitter/@reasahalharmain. Sumber : www.kumparan.com

Vaksin adalah salah satu penemuan medis paling signifikan dalam sejarah manusia. Jutaan nyawa bisa diselamatkan melalui vaksin. Aneka wabah dan pandemi bisa ditangani, termasuk pandemi covid 19 yang baru saja terjadi. Artikel ini akan membahas singkat sejarah singkat vaksin, mitos-mitos populer dan fakta tentang vaksin, serta hubungan antara vaksin dan scientific temper.

Dalam beberapa tahun terakhir, diskusi tentang vaksinasi sering kali terpolarisasi antara kelompok pendukung dan penentang vaksin.  Di satu sisi, sains menawarkan bukti kuat tentang keamanan dan efektivitas vaksin. Di sisi lain, hoax yang beredar di media sosial menciptakan ketakutan yang tidak berdasar. Algoritma media sosial lebih mudah menyajikan mitos-mitos terkait vaksin, dibandingkan fakta-fakta ilmiah. Polemik tentang bahaya vaksin kembali menghangat, setelah presiden terpilih Amerika Serikat Donald Trump memilih Robert F. Kennedy Jr., seorang tokoh anti vaksin,  sebagai Menteri Kesehatan Amerika Serikat yang baru.

Penolakan vaksin meningkat di media sosial, dibandingkan era sebelumnya. Generasi tahun 80-an familiar dengan lagu “Aku Anak Sehat” karya AT Mahmud. Sebuah lagu sederhana yang sangat efektif memberikan edukasi kesehatan pada masyarakat. Lagu tersebut berbunyi : 

Aku Anak Sehat

Aku anak sehat            
Tubuhku kuat  
Karena ibuku                        
Rajin dan cermat                      
Semasa aku bayi      
Selalu di beri asi     
Makanan bergizi         
Dan imunisasi 
Berat badanku ditimbang selalu 
Posyandu menunggu setiap waktu         
Bila aku diare            
Ibu selalu waspada             
Pertolongan oralit                       
Selalu siap sedia

Adapun saat ini, berdasarkan hasil dari survei yang dilakukan media Tirto menunjukkan, hampir separuh, atau sebanyak 43,28 persen responden takut dan ragu-ragu memvaksin anaknya. Vaksin yang dimaksud yakni imunisasi untuk anak usia 0 – 3 tahun. Fakta yang mengejutkan bahwa masih banyak orang tua yang bimbang memutuskan anaknya divaksin atau tidak.

Sejarah Vaksin

Sebelum vaksinasi ditemukan, manusia sudah mengenal teknik variolasi. Setidaknya sejak abad ke-15, orang-orang di berbagai belahan dunia telah berupaya mencegah penyakit dengan sengaja mengekspos orang sehat terhadap cacar– praktik yang dikenal sebagai variolasi (berdasarkan nama cacar, ‘la variole’). Beberapa sumber menyatakan bahwa praktik ini telah berlangsung sejak 200 SM.

Variolasi (dalam bentuk inokulasi) diperkenalkan di Eropa oleh Lady Mary Wortley Montagu 300 tahun yang lalu pada tahun 1721, setelah ia mengamati praktik tersebut di Kesultanan Turki Utsmani, tempat suaminya ditempatkan sebagai duta besar untuk Turki.

Praktik ini tidak hanya terjadi di Kesultanan Turki Utsmani, tetapi juga berlangsung di koloni-koloni Amerika. Orang-orang Afrika Barat yang diperbudak telah lama mempraktikkan teknik tersebut, dan setelah budaknya Onesimus memberitahu dia tentang cara kerjanya pada tahun 1716, Cotton Mather mempublikasikannya dan mendukung penggunaannya sebagai respons terhadap wabah cacar tahun 1721 di Massachusetts.

Baru pada bulan Mei 1796 vaksin pertama di dunia didemonstrasikan, menggunakan prinsip yang sama seperti variolasi tetapi dengan sumber virus yang tidak terlalu berbahaya, yaitu cacar sapi. Setelah mendengar kepercayaan dan praktik lokal di masyarakat pedesaan bahwa cacar sapi melindungi dari cacar, Dr. Edward Jenner menyuntik James Phipps yang berusia 8 tahun dengan materi dari luka cacar sapi di tangan Sarah Nelmes, seorang pemerah susu setempat.

Phipps bereaksi terhadap materi cacar sapi dan merasa tidak enak badan selama beberapa hari tetapi pulih sepenuhnya. Dua bulan kemudian, pada bulan Juli 1796, Jenner mengambil materi dari luka cacar manusia dan menyuntikkannya ke Phipps untuk menguji ketahanannya. Phipps tetap dalam kondisi kesehatan yang sempurna, orang pertama yang divaksinasi terhadap cacar. Istilah vaksin diambil dari kata Latin untuk sapi, yaitu vacca.

Tidak semua orang setuju dengan Jenner dan vaksinnya. Pada saat itu beredar rumor bahwa vaksin itu akan mengubah orang menjadi sapi. Tetapi pada tahun 1801, melalui pengujian ekstensif, vaksin itu terbukti efektif melindungi dari cacar. Dr. Edward Jenner dikenal sampai saat ini sebagai Bapak Vaksin. 

Setelah penemuan Edward Jenner vaksin untuk mengatasi wabah cacar, para ilmuwan terus mengembangkan teknologi vaksinasi. Vaksin dirancang melalui penelitian ilmiah yang panjang dan melewati berbagai tahap uji klinis untuk memastikan keamanan dan efektivitasnya. Misalnya, vaksin COVID-19 dikembangkan dengan teknologi terbaru seperti mRNA, yang telah diuji secara ketat di berbagai populasi sebelum mendapat persetujuan dari lembaga kesehatan dunia seperti WHO dan FDA. 

Ilmuwan terus berusaha meningkatkan efektivitas vaksin sekaligus meminimalkan efek sampingnya. Efek samping vaksin, seperti demam ringan atau nyeri di tempat suntikan, adalah reaksi normal tubuh dalam membangun kekebalan. Efek samping serius sangat jarang terjadi, sekitar 1 kasus per sejuta dosis vaksinasi​.

Sebuah fakta sejarah bahwa vaksin telah menyelamatkan jutaan nyawa dengan mencegah penyakit seperti polio, campak, dan hepatitis. WHO mencatat bahwa vaksinasi global mengurangi angka kematian akibat penyakit menular hingga 2-3 juta jiwa setiap tahun​.

Mitos dan Fakta Tentang Vaksin 

Mitos 1: Vaksin Menyebabkan Autisme

Fakta: Tidak ada bukti ilmiah yang mendukung klaim ini. Isu ini bermula dari sebuah studi tahun 1998 oleh Andrew Wakefield yang telah ditarik kembali karena data yang tidak valid. Penelitian lebih lanjut oleh organisasi seperti CDC dan WHO menunjukkan tidak ada hubungan antara vaksin, termasuk MMR (Measles, Mumps, Rubella), dengan autisme.

Hal ini sudah terbukti pada penelitian mendalam dan panjang, bahkan hingga lebih dari 10 tahun. Thimerosal merupakan salah satu kandungan vaksin yang sempat dituduh memicu autisme pada anak. Thimerosal ini berfungsi sebagai pengawet vaksin.

Amerika Serikat pernah menghapuskan kandungan thimerosal pada 1999 karena takut bahwa kandungannya bisa memicu autisme. Tapi faktanya, setelah thimerosal dihapuskan, angka autisme di Amerika Serikat tidak turun.

Mitos 2: Imunitas Alami Lebih Baik daripada Vaksinasi

Fakta: Meskipun infeksi alami sering memberikan kekebalan, risikonya jauh lebih besar. Misalnya, komplikasi campak bisa meliputi pneumonia atau ensefalitis, yang berpotensi fatal. Vaksin memberikan perlindungan yang serupa tanpa risiko penyakit serius​.

Mitos 3: Vaksin Mengandung Bahan Berbahaya

Fakta: Vaksin mengandung bahan tambahan seperti pengawet (contoh: thimerosal) atau adjuvan untuk meningkatkan respons imun. Semua bahan ini telah diuji keamanan dan kadarnya sangat kecil sehingga tidak berbahaya bagi tubuh manusia. Untuk menghilangkan kekhawatiran, beberapa produsen menghilangkan thimerosal, di beberapa negara​.

Mitos 4: Vaksin Tidak Dibutuhkan Karena Penyakit Sudah Hilang

Fakta: Penyakit seperti polio dan campak mungkin jarang ditemukan di beberapa negara, tetapi masih ada di wilayah lain. Penghentian vaksinasi dapat menyebabkan kebangkitan penyakit, seperti yang terjadi pada wabah campak di beberapa negara Eropa akibat penurunan cakupan vaksinasi​.

Mitos 5: Vaksin COVID-19 Dikembangkan Terlalu Cepat untuk Aman

Fakta: Vaksin COVID-19 menggunakan teknologi yang telah dikembangkan selama beberapa dekade, seperti mRNA. Uji klinis dilakukan secara menyeluruh dan memenuhi standar keamanan global. Setelah disetujui, vaksin terus dipantau untuk mendeteksi efek samping yang sangat jarang terjadi​.

Mitos 6 : Mitos penyakit infeksi bisa dihindari dengan gaya hidup sehat saja.

Fakta : Pola hidup sehat adalah kebiasaan baik dan bisa mencegah banyak penyakit. Namun belum cukup ampuh untuk mencegah infeksi penyakit tertentu. Fakta soal anggapan ini bisa kita lihat di Amerika Serikat. Saat ditemukan vaksin campak di AS pada 1963, penyakit ini berangsur-angsur hilang. Bahkan pada 1974, pemerintah AS menyatakan bahwa mereka bebas campak.

Yang perlu digaris bawahi, pola dan gaya hidup warga AS sejak 1963 hingga 1974 tidak ada perubahan. Artinya, peran terbesar atas hilangnya campak di AS adalah imunisasi atau vaksinasi. Bukan semata-mata gaya hidup yang sehat.

Mitos 7 : Mitos anak yang diimunisasi tetap saja sakit.

Fakta : Setelah menerima vaksin, anak bisa tetap sakit, tetapi tingkat keparahan yang dialami pasien imunisasi sangat ringan. Anak-anak yang diimunisasi, bila sakit, akan terhindar dari kecacatan dan kematian.

Dan perlu diketahui bahwa kalau anak anda tidak diimunisasi dan anda tidak sakit, berterimakasihlah kepada orang yang diimunisasi. Karena itulah herd immunity. Saat kita berada di tengah orang-orang yang sehat, kita tidak terjangkit penyakit.

Mitos 8 : Mitos vaksin mengandung microchip.

Fakta : Sampai saat ini teknologi microchip belum ada yang bisa dimasukkan ke dalam cairan yang disuntikkan melalui vaksinasi. Lubang jarum suntik sangat kecil, tidak ada partikel magnetik yang bisa melewati. Vaksin berisi protein, garam, lipid, pelarut, dan tidak mengandung logam.

Mitos 9 : Mitos vaksin mengandung sel janin aborsi.

Fakta : Virus memang perlu inang berupa sel hidup untuk bisa bertahan dan berkembang biak. Misalnya, virus campak, rubella, polio, bahkan SARS Cov-2 memerlukan inang berupa sel hidup.

Dalam pembuatan vaksin, virus memang akan menginfeksi sel hidup itu dan diproduksi berulang-ulang selama bertahun-tahun dengan meninggalkan sel awal. Sedangkan yang diambil sebagai komponen vaksin adalah bagian dari virus atau virusnya tersendiri.

Jadi, kalau ada yang menyatakan ada sel janin yang digunakan, itu terjadi pada 1960-an, di mana digunakan secara legal untuk membuat vaksin dan itu sekali saja proses yang terjadi. Lantas, apakah dalam vaksin ada sel janin? Jawabannya, hanya ada hasil produknya, yakni berupa virusnya saja.

Mitos 10 : Mitos penyakit yang sudah ada vaksinnya, tak perlu vaksinasi lagi.

Fakta : Banyak riset menunjukkan bahwa penurunan angka vaksinasi memicu kenaikan penyakit spesifik yang dilawan vaksin tersebut. Hal ini sempat terjadi di Indonesia pada medio akhir 2017 lalu. Awalnya wabah difteri terjadi di Jawa dan merambah ke Sumatra. Pemerintah pun memutuskan untuk melakukan imunisasi nasional dan menggratiskan imunisasi difteri hingga usia 19 tahun.

Di AS juga terjadi, tahun 2018 angka imunisasi turun dan muncul lagi. Polio sempat muncul kembali di Papua, padahal kita pernah dapat bendera bebas polio dari WHO. Campak rubella masih mengancam karena banyak hoaks tadi. 

Mitos 11 : Mitos vaksin mengandung zat haram

Fakta : Isu vaksin mengandung zat haram banyak dibincangkan di Indonesia. Sedangkan di Timur Tengah dan negara berpenduduk mayoritas Muslim lainnya, pro kontra terhadap kehalalan vaksin relatif tidak terjadi. Mereka sepakat pentingnya vaksin dan ada legitimasi dari lembaga fatwa negara tentang kehalalan vaksin. Pemerintah Saudi mewajibkan vaksin, bagi mereka yang pergi haji . Artinya vaksin menjadi persyaratan setiap muslim untuk mengikuti rangkaian ibadah haji.

Mitos vaksin mengandung zat haram pemicunya adalah trypsin yang dipinjam dari enzim babi untuk hasilkan panen vaksin yang baik. Supaya menghasilkan komponen vaksin. Enzim ini mengalami perubahan substansi (istiḥālah) atau tidak lagi terdeteksi dalam produk akhir.

Tidak ada bagian babi yang masuk dalam vaksin. Enzim ini akan dimurnikan kembali, sehingga komponen perantara tidak ikut masuk pada vaksin. Ketika dalam proses pembuatannya bersinggungan dengan enzim dari babi, pada produksi akhirnya hanya virus yang masuk dalam vaksin.

Seandainya memegang pandangan salah satu mazhab fiqh, yang menolak kehalalan istiḥālah,  bisa merujuk lembaga fatwa dari negara mayoritas muslim lain yang menyatakan kehalalan vaksin. Atau pertimbangan darurat, sebagaimana terjadi pada keputusan MUI terkait vaksin covid 19.

Vaksinasi dan Scientific Temper

Penerimaan vaksin sangat erat hubungannya dengan scientific temper (kepribadian ilmiah) suatu individu atau masyarakat. Hal ini merupakan respon pada sains secara  umum, karena vaksin adalah salah satu produk sains. Berikut adalah beberapa poin yang menghubungkan keduanya:

1. Pemahaman Berbasis Sains

Scientific temper mengacu pada pendekatan berbasis logika, bukti, dan analisis dalam menyelesaikan masalah atau memahami fenomena. Vaksinasi didasarkan pada prinsip-prinsip ilmiah yang telah terbukti melalui penelitian berulang, seperti bagaimana vaksin melatih sistem kekebalan tubuh untuk melawan patogen tertentu. Masyarakat dengan scientific temper yang tinggi cenderung lebih memahami mekanisme kerja vaksin dan pentingnya imunisasi untuk kesehatan publik, mengurangi skeptisisme. Vaksin mudah dipahami bagi masyarakat yang memiliki scientific temper yang baik.

2. Penolakan terhadap Mitos dan Hoaks

Salah satu aspek scientific temper adalah kemampuan untuk menyaring informasi yang valid dari mitos atau hoaks. Kampanye anti vaksin seringkali memanfaatkan informasi yang tidak ilmiah untuk menciptakan ketakutan. Individu dengan scientific temper lebih cenderung memverifikasi klaim sebelum mempercayainya, mengurangi kerentanan terhadap misinformasi.

3. Sikap terhadap Risiko

Scientific temper mendorong pendekatan rasional dalam menilai risiko dan manfaat. Orang yang memahami sains cenderung menyadari bahwa risiko efek samping ringan dari vaksin jauh lebih kecil dibandingkan manfaat mencegah penyakit serius. Tanpa pemahaman ilmiah, risiko kecil sering kali dibesar-besarkan, menyebabkan ketakutan yang tidak proporsional terhadap vaksinasi.

4. Kesejahteraan Kolektif

Vaksinasi tidak hanya melindungi individu tetapi juga komunitas melalui herd immunity. Kesadaran akan manfaat kolektif adalah ciri masyarakat dengan scientific temper, yang memahami pentingnya kontribusi individu untuk kesejahteraan bersama.

5. Implikasi Kebijakan

Negara atau masyarakat yang mengembangkan scientific temper lebih mampu merumuskan kebijakan berbasis bukti untuk mendukung vaksinasi, termasuk penyediaan akses luas dan kampanye edukasi yang efektif. Tingginya angka kematian akibat pandemi covid 19, salah satunya disebabkan penolakan beberapa negara tertentu pada vaksin.

Jika Sahabat tertarik melakukan penelitian dan uji klinis terkait vaksin, apakah vaksin aman atau tidak buat masyarakat, bisa mulai membaca buku Membaca dan Menelaah Jurnal Uji Klinis by M Sopiyudin Dahlan MSD. Buku yang mengupas tuntas tentang apa itu evidence-based medicine (EBM).

Daftar Pustaka

  • https://www.who.int/news-room/spotlight/history-of-vaccination/history-of-smallpox-vaccination#:~:text=Variolation%20(in%20the%20form%20of,attention%20in%20the%20American%20colonies.
  • https://sains.kompas.com/read/2019/04/24/161038223/skandal-temuan-wakefield-dan-dampaknya-bagi-kegagalan-vaksin-global?page=all
  • https://www.inews.id/lifestyle/health/7-mitos-dan-fakta-seputar-vaksin-yang-beredar-di-masyarakat
  • https://tirto.id/ketika-efek-samping-vaksin-bayangi-orang-tua-vaksinkan-anak-g3gf#google_vignette
  • https://www.kompas.com/hype/read/2020/06/23/195453066/lirik-dan-chord-lagu-aku-anak-sehat-ciptaan-at-mahmud
  • https://www.tempo.co/internasional/donald-trump-tunjuk-robert-f-kennedy-jr-jadi-menteri-kesehatan-amerika-serikat–1168480
  • https://mirror.mui.or.id/berita/31468/kondisi-darurat-bolehnya-vaksin-covid-19-menurut-mui/